Pembiayaan atau financing adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.
Pembiayaan selalu berkaitan dengan aktivitas bisnis. Untuk itu, sebelum masuk kepada masalah pengertian pembiayaan, perlu diketahui apa itu bisnis. Bisnis adalah aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan jasa, pedagangan atau pengolahan barang (produksi). Dengan kata lain, bisnis merupakan aktivitas berupa pengembangan aktivitas ekonomi dalam bidang jasa, perdagangan, dan industri guna mengoptimalkan nilai keuntungan.
Dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Istilah pembiayaan pada intinya berarti I believe, I Trust, saya percaya, saya menaruh kepercayaan. Perkataan pembiayaan yang berarti (trust) berarti lembaga pembiayaan selaku sahib almal menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang diberikan. Dana tersebut harus digunakan dengan benar, adil, dan harus disertai dengan ikatan dan syarat-syarat yang jelas dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Dalam kaitannya dengan pembiayaan pada perbankan Islam, istilah teknisnya disebut sebagai aktiva produktif. Aktiva produktif adalah penanaman dana bank Islam, baik dalam rupiah maupun valuta asing, dalam bentuk pembiayaan, piutang, qard, surat berharga Islam, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontijensi pada rekening administrasi, serta sertifikat wadiah.
Pembiayaan dilakukan oleh lembaga yang disebut dengan Bank atau Perbankan. Perbankan dalam kehidupan suatu negara adalah salah satu agen pembangunan (agent of development). Hal ini dikarenakan adanya fungsi utama dari perbankan itu sendiri, yaitu sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Fungsi inillah yang lazim disebut sebagai intermediasi keuangan (financial intermediary function). Dalam Bank Syariah kegiatan operasionalnya harus bebas dari unsur-unsur yang dilarang oleh Islam, yaitu maysir, garar, riba, risywah, dan batil. Dengan demikian, hal ini berbeda dengan bank konvensional yang kegiatan operasionalnya menggunakan prinsip bunga yang oleh sebagian besar ulama dikatakan sama dengan riba.
Bank sebagai lembaga perantara jasa keuangan (financial intermediary), yang tugas pokoknya adalah menghimpun dana dari masyarakat, diharapkan dengan dana dimaksud dapat memenuhi kebutuhan dana pembiayaan yang tidak disediakan oleh dua lembaga sebelumnya, baik lembaga negara maupun swasta. Dalam kegiatan penyaluran dana, bank syari’ah melakukan investasi dan pembiayaan. Disebut investasi, karena prinsip yang digunakan adalah prinsip penanaman dana atau penyertaan, dan keuantungan akan diperoleh bergantung pada kinerja usaha yang menjadi objek penyertaan tersebut sesuai dengan nisbah bagi hasil yang diperjanjikan sebelumnya. Disebut, pembiayaan karena bank syari’ah menyediakan dana guna membiayai kebutuhan nasabah yang memerlukannya dan layak memperolehnya.
Kedudukan bank syari’ah dalam hubungan dengan para nasabah adalah sebagai mitra investor dan pedagang, sedang dalam hal pada umumnya, hubungannya adalah sebagai kreditur atau debitur. Setiap lembaga keuangan syari’ah mempunyai falsafah mencari keridaan Allah swt. untuk memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, setiap kegiatan lembaga keuangan yang dikhawatirkan menyimpang dari tuntunan agama harus dihindari.
Berikut falsafah yang harus diterapkan oleh bank syari’ah dalam menjalankan operasionalnya.
- Menjauhkan diri dari unsur riba, dengan cara:
Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka secara pasti keberhasilan suatu usaha. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Luqman [31]: 34:
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat, dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan, tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan, tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Luqman [31]: 34)
Menghindari penggunaan sistem persentase untuk pembebanan biaya terhadap utang atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipatgandakan secara otomatis utang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Ali Imran [3]: 130:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda12 dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran [3]: 130)
- Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan, baik kuantitas maupun kualitas.
- Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka tambahan atas utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara sukarela.
Menerapkan sistem bagi hasil dalam perdagangannya, dengan mengacu pada Q.S. al-Baqarah [2]: 275: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat). Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 275).
Selain itu, juga terdapat dalam Q.S. an-Nisa’ [4]: 29: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan, janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S. an-Nisa’ [4]: 29)
Dalam pelaksanaan pembiayaan, bank syari’ah harus memenuhi dua aspek yang sangat penting, yaitu:
- Aspek syar’i, di mana dalam setiap realisasi pembiayaan kepada para nasabah, bank syari’ah harus tetap berpedoman pada syari’ah Islam, antara lain tidak mengandung unsur maysir, garar, riba, serta bidang usahanya harus halal.
- Aspek ekonomi, yakni dengan tetap mempertimbangkan perolehan keuntungan, baik bagi bank syari’ah maupun bagi nasabah bank syari’ah.
- Prinsip-Prinsip Pembiayaan
Pemberian pembiayaan konvensional meminjamkan uang kepada yang membutuhkan dan mengambil bagian keuntungan berupa bunga dan provisi dengan cara membungakan uang yang dipinjam tersebut. Prinsip meniadakan transaksi semacam ini dan mengubahnya menjadi pembiayaan dengan tidak meminjamkan sejumlah uang pada customer, tetapi membiayai proyek customer. Dalam hal ini, bank berfungsi sebagai intermediasi uang tanpa meminjamkan uang dan membungakan uang tersebut. Sebagai gantinya, pembiayaan usaha customer tersebut dapat dilakukan dengan cara membelikan barang yang dibutuhkan customer, lalu bank menjual kembali kepada customer, atau dapat pula dengan cara mengikutsertakan modal dalam usaha customer.
Lazimnya dalam bisnis prinsip pembiayaan, ada tiga skim dalam melakukan akad pada bank syariah, yaitu:
Prinsip Bagi Hasil
Fasilitas pembiayaan yang disediakan di sini berupa uang tunai atau barang yang dinilai dengan uang. Jika dilihat dari sisi jumlah, dapat menyediakan sampai 100% dari modal yang diperlukan, ataupun dapat pula hanya sebagian saja berupa patungan antar bank dengan pengusaha (customer). Jika dilihat dari sisi bagi hasilnya, ada dua jenis bagi hasil (tergantung kesepakatan), yaitu revenue sharing atau profit sharing. Adapun dalam hal presentase bagi hasilnya dikenal dengan nisbah, yang dapat disepakati dengan customer yang mendapat faslitas pembiayaan pada saat akad pembiayaan.
Prinsip bagi hasil ini terdapat dalam produk-produk:
- Mudaharabah, yaitu akad kerja sama uaha antara dua pihak di mana pihak pertama (sahib al-mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
- Musyarakah, yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
- Muzara’ah, yaitu akad kerja sama atau percampuran pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap dengan sistem bagi hasil atas dasar hasil panen. Adapun jenis-jenis muzara’ah adalah: (a) muzara’ah, yaitu kerja sama pengolahan lahan di mana benih berasal dari pemilik lahan; (b) mukhabarah, yaitu kerja sama pengolahan lahan di mana benih berasal dari penggarap.
Prinsip Jual Beli
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, di mana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin/mark-up). Prinsip ini dilaksanakan karena adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditetapkan di muka dan menjadi bagian antar harga barang yang diperjualbelikan.
Prinsip ini terdapat dalam produk:
- Bai‘ al-Murabah}ah, yaitu akad jual beli barang tertentu. Dalam transaksi jual beli tersebut, penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
- Bai‘ al-muqayyadah, yaitu jual beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter). Aplikasi jual beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa).
- Bai‘ al-mutlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar. Jual beli semacam ini menjiwai semua produk lembaga keuangan yang didasarkan atas prinsip jual beli.
- Bai‘ as-salam, yaitu akad jual beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati.
- Bai‘ al-istisna, yaitu kontrak jual beli di mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu, tetapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian.
Prinsip Sewa-menyewa
Selain akad jual beli yang telah dijelaskan sebelumnya, ada pula akad sewa-menyewa yang dilaksanakan dalam perbankan syari’ah.
Prinsip ini terdiri atas dua jenis akad, yaitu:
- Akad ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri.
- Akad ijarah muntabiha bi at-tamlik, yaitu sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula yang menandakan dengan ijarah biasa.
Jenis-jenis pembiayaan pada dasarnya dapat dikelompokkan menurut beberapa aspek, di antaranya:
Pembiayaan menurut tujuan.
Pembiayaan menurut tujuan dalam bank syari’ah dibedakan menjadi:
- Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk mendapatkan modal dalam rangka pengembangan usaha.
- Pembiayaan investasi, yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk melakukan investasi atau pengadaan barang konsumtif.
Pembiayaan menurut jangka waktu.
Pembiayaan menurut jangka waktu dibedakan menjadi
- Pembiayaan jangka waktu pendek, yaitu pembiayaan yang dilakukan dengan waktu 1 bulan sampai dengan 1 tahun.
- Pembiayaan jangka waktu menengah, yaitu pembiayaan yang dilakukan dengan waktu 1 tahun sampai dengan 5 tahun.
- Pembiayaan jangka waktu panjang, yaitu pembiayaan yang dilakukan dengan watu lebih dari 5 tahun.
Selain itu, pembiyaan dalam bank syari’ah juga diwujudkan dalam bentuk pembiayaan aktiva produktif dan aktiva tidak produktif. Adapun jenis pembiayaan yang dimaksud sebagai berikut.
A. Pembiayaan yang bersifat aktiva produktif, antara lain :
- Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Jenis pembiayaan dengan prinsip bagi hasil ini meliputi:
Pembiayaan mudharabah. Pembiayaan mudharabah merupakan akad bagi hasil ketika pemilik dana/modal atau biasa disebut sahib al-mal menyediakan modal (100%) kepada pengusaha sebagai pengelola atau biasa disebut mudarib, untuk melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi di antara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad.
Ada dua tipe pembiyaan mudharabah, yaitu Mudarabah mutlaqah dan Mudarabah muqayyadah.
- Pembiayaan musyarakah. Pembiayaan musyarakah adalah suatu perjanjian usaha antara dua atau beberapa pemilik modal untuk menyertakan modalnya pada suatu proyek, di mana masing-masing pihak mempunyai hak untuk ikut serta, mewakilkan atau menggugurkan haknya dalam manajemen proyek. Keuntungan dari hasil usaha bersama ini dapat dibagikan, baik menurut proporsi penyertaan modal masing-masing maupun sesuai dengan kesepakatan bersama (unproportional). Manakala merugi, kewajiban hanya terbatas sampai batas modal masing-masingPembiayaan dengan prinsip jual beli.
- Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian atas barang yang dijual
- Pembiayaan dengan prinsip sewa. Transaksi ijarah (sewa) dilandasi adanya pemindahan manfaat. Jadi, pada dasarnya ijarah sama dengan prinsip jual beli, tetapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
B. Pembiyaan yang bersifat aktiva tidak produktif.
Jenis aktiva tidak produktif yang berkaitan dengan aktivitas pembiayaan adalah berbentuk pinjaman, yaitu:
- Pinjaman qard atau talangan, yaitu penyediaan dana atau tagihan antara bank Islam dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam melakukan pembayaran sekaligus atau secara cicilan dalam jangka waktu tertentu. Aplikasi qard dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu:
- Sebagai pinjaman talangan haji, di mana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatan haji.
- Sebagai pinjaman tunai dari produk kartu kredit syari’ah, di mana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
- Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, di mana menurut perhitungan, bank akan memberatkan pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli atau bagi hasil.
- Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, di mana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus akan mengembalikan dana pinjaman itu secara cicilan melalui pemotongan gajinya.
- Analisis Kelayakan Pembiayaan
Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga penyalur dana, bank syari’ah perlu memerhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan analisis kelayakan pembiayaan. Secara umum, analisis kelayakan pembiayaan tersebut terdiri atas beberapa tahapan, yaitu:
- Pendekatan analisis pembiayaan. Ada beberapa pendekatan analisis pembiayaan yang dapat diterapkan oleh para pengelola bank syari’ah dalam kaitannya dengan pembiayaan yang akan dilakukan, yaitu:
- Pendekatan jaminan, artinya bank dalam memberikan pembiayaan selalu memerhatikan kuantitas dan kualitas yang dimiliki oleh peminjam.
- Pendekatan karakter, artinya bank mencermati secara sungguh-sungguh terkait dengan karakter nasabah.
- Pendekatan kemampuan pelunasan, artinya bank menganalisis kemampuan nasabah untuk melunasi jumlah pembiayaan yang telah diambil.
- Pendekatan dengan studi kelayakan, artinya bank memerhatikan kelayakan usaha yang dijalankan oleh nasabah peminjam.
- Pendekatan fungsi-fungsi bank, artinya bank memerhatikan fungsinya sebagai lembaga intermediary keuangan, yaitu mengatur mekanisme dana yang dikumpulkan dengan dana yang disalurkan.
- Penerapan prinsip analisis pembiayaan. Prinsip analisis pembiayaan didasarkan pada rumus 5C, yaitu:
- Character, yaitu sifat atau karakter nasabah pengambil pinjaman.
- Capacity, yaitu kemampuan nasabah untuk menjalankan usaha dan mengembalikan pinjaman yang diambil.
- Capital, yaitu besarnya modal yang diperlukan peminjam.
- Colateral, yaitu jaminan yang telah dimiliki yang diberikan peminjam kepada bank.
Condition, yaitu keadaan usaha atau nasabah prospek atau tidak
Prinsip 5C tersebut terkadang ditambahkan dengan 1C, yaitu constraint, artinya hambatan-hambatan yang mungkin mengganggu proses usaha.
- Penerapan prosedur analisis pembiayaan.
Aspek-aspek penting dalam analisis pembiayaan yang perlu dipahami oleh pengelola bank syari’ah adalah:
- Berkas dan pencatatan.
- Data pokok dan analisis pendahuluan.
- Penelitian data.
- Penelitian atas realisasi usaha.
- Penelitian atas rencana usaha.
- Penelitian dan penilaian barang jaminan.
- Laporan keuangan dan penelitiannya.
- Penentuan kebijakan pembiayaan bank syari’ah, terdiri atas:
- Kebijakan umum pembiayaan bank syari’ah, untuk pemilihan/ penentuan sektor-sektor sebagaimana diuraikan berikut, seyogianya ditetapkan secara bersama oleh dewan komisaris, direksi, serta dewan pengawas syari’ah mengenai jenis besarannya (nilai rupiahnya) sehingga atas pilihan-pilihan yang akan ditentukan diharapkan dapat memenuhi aspek syar’i, di samping aspek ekonomisnya.
- Pengambil keputusan pembiayaan. Dalam realisasi suatu pembiayaan secara inheren terdapat risiko yang melekat, yakni pembiayaan bermasalah sehingga kondisi terpuruknya menjadi macet. Guna menghindari risiko demikian, kiranya dalam setiap pengambilan keputusan suatu permohonan pembiayaan, baik di kantor pusat maupun kantor-kantor cabang atau cabang pembantu, dapat dihasilkan keputusan yang “objektif ”. Keputusan mana hanya dapat diperoleh jika prosesnya melibatkan suatu tim pemutus komite pembiayaan, berapa pun besar plafon/limit pembiayaan yang dinilai/diputus.
- Pengawasan dan Penanganan Pembiayaan Bermasalah
Secara umum, pembiayaan bermasalah disebabkan oleh faktor-faktor intern dan faktor-faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang ada di dalam perusahaan sendiri, dan faktor utama yang paling dominan adalah faktor manajerial. Timbulnya kesulitan-kesulitan keuangan perusahaan yang disebabkan oleh faktor manajerial dapat dilihat dari beberapa hal, seperti kelemahan dalam kebijakan dalam pembelian dan penjualan, lemahnya pengawasan biaya dan pengeluaran, kebijakan piutang yang kurang tepat, penempatan yang berlebihan pada aktiva tetap, dan permodalan yang tidak cukup.
Faktor ekstern adalah faktor-faktor yang berada di luar kekuasaan manajemen perusahaan, seperti bencana alam, peperangan, perubahan dalam kondisi perekonomian dan perdagangan, perubahan-perubahan teknologi, dan lain-lain.
Mengendalikan terjadinya pembiayaan bermasalah dapat dilakukan sebagai berikut.
- Sebelum realisasi pembiayaan. Dalam tahapan ini, berdasarkan persetujuan nasabah di atas, bank melakukan penutupan asuransi dan/atau pengikat agunan (jika diperlukan). Setelah ini selesai, baru pembiayaan dapat dilakukan.
- Setelah realisasi pembiayaan. Bagi bank, pencairan pembiayaan barulah akhir episode permohonan yang selanjutnya merupakan awal pemeliharaan dan pemantauan pembiayaan. Dalam tahap awal pencairan, dana diarahkan pada pembiayaan sebagaimana diajukan dalam permohonan/persetujuan bank, jangan sampai “bocor”, dalam arti lari ke luar kesepakatan. Selanjutnya, bank melakukan pembiayaan dan kontrol atas aktivitas bisnis nasabah.
Risiko yang terjadi dari pinjaman adalah peminjaman yang tertunda atau ketidakmampuan peminjam untuk membayar kewajiban yang telah dibebankan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka bank syari’ah harus mampu menganalisis penyebab permasalahannya.
Demikian yang dapat saya jelaskan mengenai konsep pembiayaan dalam perbankan syariah, sebagai tugas mata kuliah Kewirausahaan Islami, meresume dan bedah jurnal dari Jurnal Penelitian, Vol. 9, No. 1, Februari 2015 berjudul "Konsep Pembiayaan Dalam Perbankan Syari'ah", yang disusun oleh Rahmat Ilyas (STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Indonesia).
Semoga artikel ini bermanfaat. Mohon maaf apabila terdapat salah kata atau kalimat yang saya jelaskan.
Terima kasih.